Skip to main content

Calon Sarjana Komputer Dipaksa Bisa Coding?

digital student expectations
digital student expectations, sumber: jisc

Hari ini, tepat pada tanggal 15 Januari 2018 - pertengahan bulan akhir pendaftar sidang skripsi kelulusanku. Tanggal dimana sedang berdebar cepatnya jantungku dengan segala jenis imajinasi ini, tentang harus seperti apakah aku ini. Tetap optimis dengan sekuat kemampuanku, atau justru pesimis karena tak sanggup melaluinya.

Jujur saja, aku merasakan tidak keadilan dalam skripsi ini. Skripsi dimana aku harus membuat sebuah produk dari jurusan yang aku ambil, yakni informatika. Sedang, dosen yang selalu bertatap muka denganku di kampus kecil ini menganggap bahwa lulusan sarjana komputer harus memiliki kemampuan programming untuk coding.

Kenapa? Padahal, sejak pertama kali aku memilih judul skripsi ini, tidak pernah terlintas sedikitpun pemikiran untuk coding. 2 metode sudah aku gunakan untuk mendapatkan perhatian kalian, ternyata tetap tidak memberikan kelonggaran.

Banyak sekali orang sukses di luar sana yang tidak bisa membuat program atau coding, justru menjadi pendiri startup terkenal. Mereka menggunakan modal leadership, bisnis, marketing dan ah banyak lagi.

Memang, mereka pasti sedikit mengerti tentang coding. Tapi aku yakin, mereka pasti tidak mengerjakan program mereka sendirian. Selalu ada bantuan dari orang lain yang memang ahli dalam bidangnya.

Aku masih tak habis pikir, sudah berulang kali bimbingan meminta sedikit keringanan untuk tidak membuat sistem informasi manajemen (SIM) di dalam skripsiku ini, masih saja ditolak dengan alasan sudah menjadi peraturan fakultas.

Pertanyaannya, kapan fakultas memberikan sosialisasi tentang ini?

Meminta keringanan bukan berarti aku hanya bermodal muka melas saja, banyak bukti yang aku bawa ke ruang dosenku. Salah satunya saja, aku mendapatkan nilai 100 pada semua bidang dalam buku harianku saat PKL.

Perlu kamu ketahui, PKL adalah menjadi syarat kelulusan di dalam kampusku. Dengan ketentuan 1 SKS, PKL aku laksanakan di startup logistik di Jakarta Barat. Di sana, aku mendaftarkan posisiku menjadi seorang content marketer merangkap menjadi SEO, baik management, specialist ataupun expert. Karena, memang di sana, belum ada yang memegang peranan menjadi seorang SEO.

3 bulan aku lalui, nyatanya, aku mendapatkan nilai 100 semua dari CEO-ku di sana. Beliau memberikan nilai ini tidak cuma-cuma, dan tidak aku suap juga. Beliau benar-benar memberikan nilai ini karena merasa aku telah sanggup melalui masa-masa PKL dengan baik, mampu memberikan yang terbaik, dan memiliki efek yang sangat besar.

Bukan maksud sombong, traffic website startup tempat aku magang yang awalnya hanya 1.000 per hari, setelah aku garap menjadi 7.000 per hari + biaya advertising yang turun drastis.

Jadi, masih haruskah aku coding di dalam skripsiku ini? Jika memang benar mendidik mahasiswanya menjadi lulusan yang siap untuk bekerja, kenapa memaksaku untuk menjadi programmer? Apa kalian tidak melihat ada banyak sekali peluang lulusan informatika di luar sana?

Wahai yang terhormat, bijaklah dalam membuat peraturan. Tidak bisa kalian samakan kami dengan yang lain, tidak bisa kalian samakan aku dengan yang lain. Aku memang bukan spesial, dan aku tidak ingin di-spesialkan. Tapi perlu kalian ketahui rahasia umum yang sudah banyak diketahui publik bahwa, "tidak semua hewan bisa memanjat pohon", begitu juga, "tidak semua sarjana komputer bisa coding".

Comments